Thursday, December 2, 2010

CATATAN PINGGIR SEBUAH PERKENALAN

Oleh : HelenaTiana Rosi

Pagi itu,.... 3 Mei 1988, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar disalah satu Universitas di Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Melanie Amira, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan dia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah.

Ia seorang yang bertubuh sedang, ramah, dalam balutan gaun biru yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu mengucapkan kalimat pujian kepada Tuhan.

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Amira tiba, semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya.

Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Amira berkata dengan nada datar.

"Saya diuji Tuhan dengan cacat kaki ini seumur hidup saya." Ia tersenyum,
"Saya lahir dalam keadaan seperti ini, mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon sesuatu pada Tuhan. Saya berdoa agar saat orang lain melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Tuhan," Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.
"Ya, agar mereka ingat Tuhan saat menatap saya. Itu saja."
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita di Universitas tempat kuliahnya itu senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah, ada juga yang menunggu di atas," kenangnya.

Menurut Amira ia sering mendengar orang menyebut-nyebut nama Tuhan saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Tuhan, bisa juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Tuhan, bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah, keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Tuhan. puji syukur, Tuhan memang Maha Besar.

"Begitu kata mereka."

Wanita bersahaja kelahiran tahun 1956 ini juga berkata bahwa ia tak pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya bersabar saja." Makanya semua geger, ketika tahun 1983 ada seorang lelaki dewasa, mapan dan normal melamarnya.

"Dan lagi-lagi saat pernikahan, saya mendengar banyak orang menyebut-nyebut nama Tuhan dgn takjub. Tuhan Maha Kuasa, Yang Maha Adil , Puji Tuhan, dan sebagainya," ujarnya penuh syukur.

Saya memandang Amira dalam-dalam, menyelami batinnya dengan mata mengembun.

"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal sayapun, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan puji syukur kepada Tuhan".

Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang ibu melahirkan otot-otot pinggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Tuhan berkehendak semua akan menjadi mudah.

Dan puji syukur, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Amira memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Tuhan, Tuhan Maha Besar, Tuhan memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."

Hening. Ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Melanie Amira.

Tiba-tiba saya merasa bahwa perasaan syukur saya masih teramat dangkal dibandingkan nikmat yang telah saya terima selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya merasa belum apa-apa, yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa.

Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara, sekarang dan pertama kalinya selama hidup saya, saya menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Tuhan saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Amira ?

Saat seminar usai dan Amira dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur kepelukannya.

Wajah teduh Amira tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Tuhan betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku. Ketika Amira pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Tuhan, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya.

"Maha besar Engkau ya Tuhan, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hamba Mu ini, kekalkanlah persaudaraan kami selamanya. Amiin."

Amira memang benar adanya, memandangnya, saya pun ingat pada Nya, dan cinta saya pada
Blockquote Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang ikhlas serta beriman kepada Tuhan".
Terimakasih
(Have a nice weekend)

No comments:

Post a Comment

Hi, Anda dipersilahkan menulis komentar, mmengusulkan perbaikan atau koreksi, atau merekomendasikan tulisan di blog ini kepada siapa saja. Hanya saja, tolong jangan menulis hal-hal yang berbau SARA atau yang dapat menyinggung perasaan orang lain, kelompok atau golongan tertentu.